| 
Kualitas Air, Kadang Tak Sejernih Warnanya | 
| 
Apa yang ada dalam
  pikiran kita ketika disodorkan air minum yang terlihat keruh dan berbau amis?
  Kita pasti menolak untuk meminumnya, demikian pula dengan ayam. Ayam akan
  cenderung memilih air yang lebih jernih ketimbang air yang keruh, apalagi
  berbau amis. Lalu bagaimana jika air tersebut terlihat sangat jernih, tidak
  berwarna dan tidak berbau? Apakah hal ini sudah menjamin bahwa kualitasnya
  akan baik? Jawabannya ternyata tidak. 
Air dengan kondisi
  fisik memenuhi syarat, masih mempunyai kemungkinan mengandung bahan-bahan
  kimia dan mikroorganisme yang berbahaya bagi ayam. Kuncinya, kita sebagai
  peternak harus rajin memeriksa kualitas air yang ada di peternakan.
  Karakteristik ayam modern saat ini yang sensitif terserang penyakit, memberi
  peluang besar bagi bibit penyakit untuk menginfeksi melalui air minum. Selain
  itu, mengingat bulan-bulan ini merupakan masa peralihan dari musim kemarau ke
  musim hujan, maka sudah seharusnya kewaspadaan kita terhadap kualitas air
  minum terus ditingkatkan. 
Kondisi Musim vs
  Kualitas Air 
Perubahan musim
  seringkali mempengaruhi beberapa parameter kualitas air yang ada di
  masing-masing lokasi peternakan. Saat musim hujan, peningkatan curah hujan
  akan menambah volume air tanah. Dalam kondisi demikian kebanyakan peternak
  cenderung mengandalkan sumber air permukaan dengan sumur yang relatif tidak
  terlalu dalam. 
Problem berkenaan dengan kualitas air yang kemudian terjadi ialah warna air
  menjadi lebih keruh akibat bercampur lumpur, kadar logam beratnya (umumnya
  zat besi) menjadi lebih tinggi, serta pH-nya cenderung lebih alkalis (basa).
  Air dengan kondisi seperti ini tidak baik diberikan pada ayam dan tidak baik
  digunakan untuk melarutkan obat maupun vaksin (Wiryawan, 2011). 
Tidak hanya itu, pada
  musim hujan juga akan banyak ditemukan genangan air, dimana genangan air
  tersebut bisa menjadi tempat ideal bagi berkembangbiaknya parasit (serangga
  dan cacing), dan kuman patogen, seperti E. coli. Selanjutnya bibit
  penyakit yang berkembang tersebut akan menyebar dengan sangat cepat didukung
  oleh tingginya pergerakan aliran air selama musim hujan. Dan bukan tidak
  mungkin air sumur pun ikut tercemar. 
Apakah masalah
  penurunan kualitas air hanya terjadi di musim hujan? Jawabannya tidak. Di
  musim kemarau, debit air permukaan (sungai, danau, dll) akan berkurang.
  Melihat hal ini, seharusnya keberadaan kuman patogen seperti E. coli akan rendah dalam air tersebut, dan
  kemungkinan dalam air sumur yang merupakan hasil resapan air permukaan,
  keberadaan E. coli juga akan “nol”. Namun nyatanya tidak demikian. Dari data tim Technical Support Medion (2012) diperoleh informasi bahwa
  sampel air dari beberapa peternakan di Indonesia, hampir di setiap bulan
  positif terkontaminasi E. coli, termasuk ketika
  memasuki musim kemarau (grafik 1).  
Melihat kedua pengaruh
  musim tersebut, satu poin yang bisa disimpulkan ialah peternak wajib
  memperhatikan kualitas air minum yang akan diberikan ke ayam. Apapun musim
  yang sedang dihadapi. Lalu bagaimana gambaran lebih detail mengenai kualitas
  air di peternakan selama ini? Apakah permasalahan yang muncul hanya sebatas
  cemaran E. coli saja? 
Berbagai Masalah Air
  di Peternakan 
Merujuk dari data tim Technical Support Medion terhadap kualitas air di peternakan selama 1 tahun terakhir (2011
  – semester 1/2012) ini, diketahui lebih dari 80% sampel air di areal
  peternakan bermasalah atau tidak sesuai dengan persyaratan mutu yang berlaku.
  Dari 80% tersebut, masalah utama yang mendominasi memang masih tentang
  kontaminasi E. coli dan coliform. Namun tidak hanya
  itu, masalah yang juga cukup banyak ditemukan ialah dari segi kualitas fisik
  (tidak jernih, berwarna, dan berbau) serta kimia (kesadahan tinggi, pH air
  asam dan beberapa mengandung nitrit berlebih) (lihat grafik 2).  
 
Dari data Technical Support Medion (2012) pada grafik 3, diketahui
  sebanyak 63,29% dari total sampel air di peternakan positif tercemar E. coli. Cemaran E. coli ini kemungkinan besar berasal dari feses/kotoran ayam yang banyak
  mengontaminasi air permukaan sehingga konsentrasi E. coli pada air permukaan tersebut tinggi.
  Dalam tiap gram feses bisa terkandung sekitar 106 bakteriE. coli. 
Di lapangan sendiri,
  adanya cemaran bakteri ini umumnya berkaitan langsung dengan letak dan
  kedalaman sumur. Pada musim hujan misalnya, jika kedalaman air sumur sangat
  dangkal, maka kontaminan E. coli dari air permukaan akan meresap ke dalam air sumur melalui pori-pori
  tanah. Terlebih karena feses dan litter saat musim hujan tidak bisa kering, bahkan sangat lembek sehingga mudah
  terurai dan terserap ke dalam tanah. Sumur yang terlalu dekat (kurang dari 10
  m) dari tumpukan feses di kandang, dekat sawah, sungai, ataupun septic tank, juga masih memiliki risiko besar akan terkontaminasi E. coli, baik itu dimusim hujan maupun kemarau.  
Menurut Hariyadi
  (2003), E. coli dalam jumlah tertentu merupakan bakteri normal yang tidak mengganggu.
  Namun saat “banjir” populasinya, bakteri ini akan menyerang ayam dan munculah
  kasus penyakit colibacillosis. E. coli bisa saja menjadi pintu gerbang masuknya penyakit, tapi ia lebih sering
  mengikuti penyakit lain dalam menyerang ayam atau dengan kata lain
  diistilahkan sebagai agen infeksi sekunder. 
Colibacillosis
  sebenarnya bisa diobati, namun benar-benar sulit dihilangkan secara tuntas.
  Kecuali semua faktor risiko cepat ditangani. Salah satunya dengan manajemen
  higienitas dan sanitasi air minum sejak membangun sumber air, hingga air
  berada di tempat minum ayam. 
Sanitasi/desinfeksi
  air minum diantaranya bisa dilakukan dengan cara pemberian antiseptik (Desinsep/ Antisep/ Neo Antisep/Medisep) atau
  kaporit (12-20 gram tiap 1.000 liter air) pada air yang akan dikonsumsi ayam.
  Perhatikan dosis antiseptik yang digunakan. Untuk pemeliharaan harian, saat
  pelarutan Desinsep/kaporit, perhatikan
  waktu kontaknya dengan air minum yaitu minimal didiamkan 15-30 menit baru
  kemudian diberikan ke ayam. 
Sebagai usaha mencegah
  adanya kontaminasi kuman patogen dan agar mikroba baik di usus ayam tidak
  terganggu, program desinfeksi air minum bisa dilakukan dengan sistem 3-2-3.
  Artinya 3 hari pemberian antiseptik, 2 hari air minum biasa dan 3 hari
  pemberian antiseptik lagi, demikian seterusnya berselang-seling. 
Hal lain yang juga
  perlu diperhatikan saat desinfeksi air minum yaitu jangan pernah mencampur
  antiseptik dengan obat/vitamin/vaksin. Untuk kasus dimana di peternakan
  sedang terjadi outbreak penyakit (misal colibacillosis), antiseptik yang mengandung iodine tidak
  boleh digunakan untuk melarutkan obat/vitamin karena bersifat oksidator yang
  kuat sehingga bisa merusak potensi dari obat/vitamin tersebut. 
Oleh karena itu
  sebagai jalan keluar, pemberian antiseptik yang mengandung iodine dan
  ammonium quartener (QUATS), bisa dilakukan malam hari setelah pengobatan
  selesai dilakukan. Namun khusus air minum yang dicampur dengan Desinsep/kaporit, setelah diendapkan minimal 8 jam baru dapat digunakan untuk
  melarutkan obat/vitamin. Sedangkan dalam hal vaksinasi, jangan berikan air
  yang mengandung antiseptik selama 48 jam sebelum dan 24 jam sesudah vaksinasi
  karena virus vaksin akan rusak atau mati apabila kontak dengan antiseptik. 
 
Tolak ukur fisik air
  yang berkualitas antara lain warna, rasa, bau, dan kekeruhan. Untuk itu, air
  yang bermutu harus tidak berwarna, berasa dan berbau. Air juga harus terbebas
  dari partikel- partikel tersuspensi alias tidak keruh dari lumpur kasar,
  lumpur halus maupun koloid. Kondisi fisik air minum yang kurang baik akan
  mempengaruhi tingkat konsumsi air minum ayam. Waktu ayam diberi pilihan air
  minum keruh dengan air minum jernih, pasti ayam lebih memilih air minum yang
  jernih.  
Seringkali penampilan
  fisik air yang tidak sesuai menggambarkan bahwa kualitas kimia maupun
  biologinya tidak memenuhi standar. Contohnya air dengan kandungan besi (Fe)
  yang tinggi bisa diketahui dari bau “amis” nya yang sangat khas dan warnanya
  yang kekuningan. 
Selanjutnya penanganan
  yang bisa dilakukan untuk mengatasi kualitas fisik air tersebut, antara lain: 
1.     Pengendapan atau
  penyaringan. 
2.     Penambahan tawas
  sebanyak 2,5 gram tiap 20 liter air minum, yang berperan sebagai pengikat dan
  koagulan (mengendapkan) partikel dalam air. 
3.     Penambahan sediaan
  yang berperan sebagai penjernih. Contohnya PAC (polyaluminium chloride)
  sebanyak 80 ppm (80 mg/liter air). Air yang telah ditambahkan PAC sebelumnya
  harus didiamkan selama 30 menit, baru kemudian digunakan. 
 
Air sadah merupakan
  air yang memiliki kandungan ion Ca2+ (kalsium) atau Mg2+ (magnesium) berlebih.
  Daerah berkapur atau air payau biasanya memiliki tingkat kesadahan tinggi.
  Untuk mendeteksi air tersebut bersifat sadah atau tidak, kita bisa mengujinya
  dengan melarutkan detergen ke dalam air. Jika sadah maka air tidak akan
  berbusa. 
Dalam pemakaiannya,
  air yang sangat sadah (kadar > 180 ppm) bisa mengurangi tingkat kelarutan
  beberapa sediaan obat, terutama yang mengandung tetrasiklin atau
  fluoroquinolon. Desinfektan yang zat aktifnya iodine dan QUATS, seperti Antisep, Neo Antisepdan Medisep daya kerjanya juga akan menurun jika
  dilarutkan dalam air sadah. 
Tingginya kadar Ca2+ dan Mg2+ juga bisa mengganggu
  proses pencernaan dan penyerapan nutrisi ransum. Selain itu vaksin aktif pun
  akan rusak oleh air sadah ini. Bahayanya, ayam yang terus menerus minum air
  sadah, ataupun mendadak diberi minum air dengan kesadahan tinggi, akan
  mengalami diare yang bisa berujung kematian. 
Untuk mengatasi air
  sadah, peternak bisa mengatasinya dengan cara sederhana yaitu melalui
  penambahan bahan-bahan seperti: 
1.     Medimilk (20 gram tiap 10 liter air). Dengan kandungan 100% skim milk nya mampu mengikat logam Ca2+ dan Mg2+ 
2.     Netrabil sebanyak 5 gram tiap 1 liter air 
3.     Ethylen diamin tetra
  acetic acid (EDTA) dengan dosis 0,02-0,1% 
 
Sebelumnya perlu
  diketahui bahwa nilai pH tidak dipengaruhi oleh kondisi musim karena pH air
  saat musim hujan maupun kemarau tidak berbeda nyata. Nilai pH justru banyak
  dipengaruhi oleh komposisi kimia tanah. Dari data pada grafik 2 bisa dilihat
  bahwa masalah pH asam lebih tinggi kejadiannya di peternakan dibanding dengan
  pH basa. Umumnya air dengan pH asam banyak berasal dari daerah lahan gambut dan
  rawa-rawa karena tingginya proses pembusukan dan fermentasi bahan-bahan
  organik yang ada. Sedangkan air dengan pH basa biasa ditemukan di daerah
  pegunungan kapur. Untuk air di peternakan sendiri, pH air minum yang baik
  berkisar antara 5-8. 
Level pH penting
  diperhatikan karena berhubungan erat dengan tingkat kesadahan air. Dengan
  demikian kondisi pH yang tidak sesuai juga bisa mengakibatkan penyumbatan
  pada pipa saluran air, mengganggu kelarutan dari berbagai preparat antibiotik
  maupun desinfektan, merusak vaksin aktif, serta dapat mengakibatkan ayam
  mengalami diare yang cukup serius. 
Mengenai cara
  mengatasinya, air minum yang asam bisa ditingkatkan pH-nya dengan menambahkan
  kapur soda (NaHCO3). Sebaliknya, air dengan pH basa bisa diatasi
  dengan penambahan senyawa asam, seperti asam cuka, asam sitrat atau asam
  organik (asam asetat, propionat). Setelah menambahkan bahan penetral air,
  untuk memastikan bahwa pH air telah sesuai, sebaiknya lakukan pemeriksaan pH
  akhir dengan kertas indikator universal (kertas lakmus) atau pH meter. 
Salah saru produk
  Medion yang juga bisa digunakan untuk menetralkan pH air minum, baik yang
  sebelumnya ber-pH asam maupun basa, adalah Netrabil. Kelebihan dari
  penggunaan Netrabil ini ialah kita tidak perlu melakukan pemeriksaan kembali pH dengan kertas
  lakmus karena pH akan otomatis menjadi netral. 
 
Nitrit merupakan suatu
  senyawa kimia turunan nitrat. Senyawa nitrat sendiri kadarnya berhubungan
  dengan kadar nitrogen yang ada pada tumpukan feses ayam. Sebenarnya nitrat
  sendiri tidak bersifat racun (toksik) terhadap ayam. Namun, konsumsinya dalam
  jumlah berlebihan baru bisa menyebabkan keracunan. Dengan bantuan bakteri
  pengikat N (Rhizobium, Bradyrhizobium, Mesorhizobium,Photorhizobium, dan Sinorhizobium), nitrat bisa diubah menjadi
  nitrit yang 10 kali lebih beracun daripada nitrat (Jurnal Litbang Pertanian,
  2007). 
Selanjutnya nitrit
  yang masuk ke dalam tubuh ayam akan diserap dalam darah dan mengoksidasi
  hemoglobin (sel darah merah) hingga terbentuklah senyawa methaemoglobin (MetHb).
  Senyawa inilah yang berbahaya karena berefek mengurangi kadar oksigen dalam
  darah, sampai akhirnya menimbulkan kematian (Jurnal Litbang Pertanian, 2007). 
Menurut Barao (2000),
  sumber air yang sering tercemar nitrit adalah sumber air yang tidak dipelihara
  (tidak pernah digunakan) dengan kedalaman yang cukup dangkal, air danau,
  serta sumber air yang berdekatan dengan lahan pertanian (sawah) yang dipupuk
  N (nitrogen) dengan takaran yang tinggi. Jika air di peternakan
  teridentifikasi tinggi kandungan nitrit maupun nitratnya, maka teknik untuk
  menurunkan kadarnya bisa dilakukan dengan mengalirkan air tersebut ke dalam
  tabung yang berisi karbon aktif. Ukuran tabung disesuaikan dengan jumlah dan
  kecepatan aliran air. Jumlah karbon aktif minimal 50% dari volume tabung. 
Tidak hanya itu, jarak
  sumber air (sumur) sebaiknya dijauhkan dari septic tank maupun tumpukan
  feses, yaitu minimal berjarak 10 meter. Ambil dan bersihkan feses secara
  rutin, jangan sampai menumpuk. Pelaksanaan desinfeksi maupun klorinasi juga
  dapat menghambat peningkatan kadar nitrit karena bisa membunuh mikroorganisme
  yang mengubah nitrat menjadi nitrit. 
Pengelolaan Air 
Meski tak seketat air
  minum manusia, tapi pada prinsipnya ayam pun butuh air minum yang baik dan
  terjaga kualitasnya. Agar penanganan permasalahan kualitas air bisa dilakukan
  dengan tepat, tentunya peternak harus mengetahui terlebih dahulu kualitas air
  di peternakannya. Sebaiknya pemeriksaan kualitas air tanah/sumur dilakukan
  secara periodik terutama saat terjadi pergantian musim, atau minimal 1 tahun
  sekali untuk mengetahui kandungan kimianya (seperti mineral, kesadahan) (World
  Poultry Vol. 25 No.3, 2009).  
Ada 2 poin penting
  yang harus diperhatikan dalam menjaga kualitas air, yaitu sumber air minum
  (air PAM, air sumur, air permukaan, dsb) dan sistem pemberiannya (menggunakan
  tempat minum manual, semi otomatis atau sistem otomatis). Air PAM secara
  normal merupakan sumber air yang paling aman. Sedangkan air sumur masih bisa
  digunakan sebagai sumber air minum ayam, tetapi harus tetap diberi beberapa treatment jika suatu saat dari hasil uji diketahui
  kualitasnya bermasalah. 
Berbeda halnya dengan
  air permukaan (surface water) yang berasal dari sungai, danau dan
  sebagainya, semestinya tidak digunakan untuk air minum ayam karena beresiko
  terhadap kontaminasi kuman patogen. Selain E. coli, ada pula virus AI yang dibawa oleh unggas air (contoh: bebek) yang
  berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya melalui media air. Mengingat
  akan hal ini, maka akan lebih baik jika pemeriksaan kualitas air dilakukan
  secara menyeluruh, tidak hanya dari sumber air (sumur/air sungai), tapi juga
  meliputi bak penampung air (ground reservoir), menara penampung
  (torn), serta pipa saluran air atau langsung dari tempat minum. 
Selain dengan
  pemeriksaan laboratorium, agar penyelesaian masalah kualitas air bisa diatasi
  secara efektif, tentu perlu didukung dengan tindakan perawatan dan penerapan
  biosekuriti yang ketat, diantaranya: 
 
Biofilm merupakan lapisan semacam lendir dan lumut yang menempel di dinding
  bagian dalam pipa, kemudian menyumbat aliran air. Biofilm terdiri atas banyak
  mineral, juga slime yang merupakan lapisan
  lendir. Slime ini muncul secara
  normal, karena pertumbuhan alga dan mikroba lainnya termasuk bakteri E. coli. 
Pembentukan biofilm
  sangat dipengaruhi oleh karakteristik air di masing-masing peternakan, sesuai
  kondisi geografis dan geologisnya. Contohnya, pada daerah dimana airnya
  memiliki kadar besi (Fe) yang tinggi, pH-nya terlalu basa/asam, atau nilai
  kesadahan airnya terlalu tinggi, maka biofilm akan mudah terbentuk.  
Bagi bakteri sendiri, biofilm berperan untuk mendukung daya hidup dan
  pertumbuhannya. Biofilm juga berfungsi sebagai mekanisme pertahanan fisik
  bagi bakteri karena bersifat licin, sehingga ia terhindar dari gerusan yang
  seharusnya dapat menyapu bersih sel-sel yang tidak menempel. Secara kimiawi,
  biofilm mampu membentengi bakteri dari penetrasi senyawa yang beracun bagi
  dirinya. Itulah mengapa biofilm ini bisa menyebabkan tindakan pemberian antiseptik pada air minum tidak
  “mempan” membunuh kuman patogen yang ada di dalamnya. 
Dengan mempertimbangkan
  masalah di atas, maka peternak sudah seharusnya melakukan pembersihan biofilm
  secara berkala. Danflushing merupakan cara yang
  paling efektif digunakan, yaitu membersihkan pipa saluran air minum
  menggunakan air bertekanan tinggi. Sebaiknya flushing dilakukan secara rutin minimal 1 bulan sekali. Namun karena pembentukan biofilm juga diperparah oleh efek samping
  pemberian vitamin, obat dan vaksin, maka sebaiknya setelah program pengobatan
  atau vaksinasi, flushing harus tetap dilakukan. Baik vitamin, obat maupun vaksin diketahui
  memerlukan polisakarida sebagai carrier atau zat pembawanya. Dan polisakarida ini juga merupakan media tumbuh
  yang ideal bagi mikroba dalam air membentuk biofilm. 
Tindakan flushing akan lebih optimal jika sebelumnya air diberi
  bahan pengangkat biofilm seperti hidrogen peroksida (H2O2) (dosis 15-20
  mg/liter air atau 10-15 ml/100 liter air). Mekanismenya, H2O2 dilarutkan ke dalam bak penampungan/torn air. Sebelum pelarutan ini,
  saluran air minum harus dikosongkan terlebih dahulu, sampai tidak ada sisa
  air di dalam pipa maupun tempat minum. 
Setelah dilarutkan,
  kemudian air bercampur H2O2 tersebut dialirkan hingga ke ujung tiap pipa. Diamkan selama 2-3 jam,
  baru dibuka dan dibilas dengan air bertekanan/metode flushing tersebut (www.edstrom.com). 
Karena lamanya
  perendaman H2O2, maka khusus pada peternakan yang
  pemberian air minumnya menggunakan tempat minum sistem semi otomatis atau
  otomatis, program penggunaan H2O2 ini hanya bisa dilakukan saat kosong kandang. Atau jika tidak, bisa
  menggunakan bahan lain seperti asam sitrat dengan dosis 1,5-2 gram/liter,
  kemudian didiamkan dahulu selama 1 jam (Tsai, 2003). 
1.     Jangan biarkan feses
  ayam menumpuk di sekitar kandang 
2.     Perhatikan kedalaman
  sumur dan jaraknya dengan tempat pembuangan feses/kotoran. 
Kedalaman sumur di
  peternakan dianjurkan > 30 meter dan jaraknya dari lokasi feses minimal 10
  meter. 
Dengan melihat
  kenyataan di lapangan, kualitas air di peternakan seringkali diremehkan. Baik
  musim hujan, maupun kemarau, kualitas air seringkali rendah karena banyaknya
  cemaran E. coli, kondisi fisiknya tidak sesuai standar, kandungan ion Ca2+ dan Mg2+-nya berlebih, pH-nya asam serta terkontaminasi
  nitrit. Hal ini tentu akan sangat berdampak terhadap performa ayam. Oleh
  karena itu, lakukan pemeriksaan air secara rutin untuk mencegah timbulnya
  masalah yang lebih besar di peternakan. Salam. | 
